Larangan Mengatakan Buruknya Jiwaku
Larangan Mengatakan “Buruknya Jiwaku”adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 19 Sya’ban 1446 H / 18 Februari 2025 M.
Kajian Tentang Larangan Mengatakan “Buruknya Jiwaku”
Kita masih membahas hal-hal yang dilarang dan dimakruhkan dalam Islam. Dalam pembahasan kajian kali ini, kita mengulas satu hadits dari Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi wa Sallam yang dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya.
Bab ini membahas tentang dibencinya seseorang mengucapkan “Khubat Nafsi”, yang berarti “Alangkah buruknya jiwaku ini” atau “Betapa jeleknya diriku ini”. Ini merupakan lafaz atau perkataan yang dimakruhkan dalam Islam.
Adapun hadits yang dibawakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam bab ini adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ خَبُثَتْ نَفْسِي، وَلَكِنْ لِيَقُلْ لَقِسَتْ نَفْسِي
Artinya: Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mengucapkan ‘Khubat Nafsi’ (alangkah buruknya jiwaku ini), tetapi hendaknya dia mengatakan ‘Laqisat Nafsi’ (jiwaku sedang tidak baik).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan kita bahwa ucapan “Khubat Nafsi” mengandung konotasi yang buruk dan dapat dianggap sebagai doa negatif terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam mengarahkan umatnya untuk menggunakan kata yang lebih baik.
Pelajaran dari hadits ini, yaitu Islam sangat memperhatikan adab dalam berbicara. Bahkan perkataan kecil yang tampaknya remeh tetap mendapat perhatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Seorang Muslim tidak boleh mengatakan hal buruk tentang dirinya sendiri, seperti “Aku ini buruk,” “Aku tidak berguna,” atau “Aku bodoh.” Sebaliknya, doakanlah kebaikan untuk diri sendiri agar Allah memperbaiki keadaan kita.
Sejak kecil hingga diutus sebagai Rasul, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikenal sebagai sosok yang jujur dan berbudi luhur. Bahkan kaum Quraisy yang musyrik pun mengakui kesempurnaan akhlaknya, termasuk dalam cara berbicara yang santun dan tidak pernah berkata kotor.
Sebagai seorang Muslim, kita harus berhati-hati dalam berbicara, karena setiap perkataan memiliki dampak. Jangan sampai kita mengeluarkan ucapan yang buruk terhadap diri sendiri atau orang lain. Sebaliknya, biasakan berdoa kepada Allah agar memperbaiki jiwa dan sifat kita dengan sifat-sifat yang mulia.
Hadits ini memberikan contoh yang berharga bagi kita, karena Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam adalah Uswatun Hasanah (teladan yang baik) bagi umat ini.
Selain itu, hadits ini juga mengajarkan kepada kita bahwa adab itu terbagi menjadi dua macam:
- Adab yang tampak secara lahiriah (berupa ucapan dan perilaku).
- Adab yang tersembunyi di dalam hati (berupa niat dan keikhlasan).
Dua-duanya harus dijaga dengan baik. Adab lahiriah mencerminkan kesopanan dalam berbicara dan bertindak, sedangkan adab batiniah berkaitan dengan hati yang bersih, niat yang tulus, serta keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan adab. Islam menegakkan dan menerapkan nilai-nilai akhlak yang mulia, termasuk dalam berbagai aspek kehidupan:
- Adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- Adab kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam
- Adab kepada orang tua.
- Adab kepada guru dan murid.
- Adab kepada tetangga dan masyarakat.
- Adab terhadap diri sendiri.
Semua adab-adab ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dan menjadi bagian dari ajaran Islam yang sempurna. Bahkan adab terhadap diri sendiri juga diajarkan dalam hadis ini, yaitu dengan tidak berkata buruk tentang diri sendiri.
Kami ingin menegaskan kembali bahwa akidah dan manhaj Salaf tidak pernah terpisah dari akhlak dan adab-adab yang luhur. Seorang Muslim yang mengikuti manhaj Salaf yang benar adalah mereka yang mengamalkan Islam dengan penuh akhlak, kelembutan, dan kesantunan.
Hadits ini juga mengajarkan bahwa jika seseorang memiliki nama dengan makna yang kurang baik, maka hendaknya diganti dengan nama yang lebih baik. Ini merupakan salah satu sunah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam di mana beliau sering mengubah nama-nama sahabat yang memiliki makna buruk menjadi nama yang lebih indah dan bermakna positif.
Kemudian juga, tidak seyogianya dan tidak sepatutnya bagi seorang Muslim untuk mensifati dirinya dengan perkataan khubuts (خُبْثٌ), khabits (خَبِيْثٌ), atau khabitsah (خَبِيْثَةٌ).
Hal ini karena manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan mulia. Namun, seseorang boleh mencela perbuatannya dan menyesali kesalahannya. Itu adalah hal yang dibolehkan ketika seseorang berbuat keburukan, lalu menyesal atas perbuatannya dan berupaya memperbaiki diri, bertaubat, serta meminta ampun kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan hal-hal yang dianjurkan dalam Islam.
Namun, tidaklah pantas bagi seseorang untuk memaki-maki dirinya sendiri atau mengatakan hal-hal seperti:
خَبُثَتْ نَفْسِي
Khubutsat nafsi – “Jiwaku ini kotor.”
قَبُحَتْ نَفْسِي
Qabuhat nafsi – “Jiwaku ini buruk.”
Meskipun mungkin ada sebagian kebenaran dalam apa yang diucapkan, karena seseorang lebih mengetahui dirinya sendiri, tetaplah lebih baik menggunakan bahasa yang lebih baik dan tidak mengandung makna keburukan.
Sebaliknya, kita dianjurkan untuk berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberikan jiwa yang baik (نَفْسًا طَيِّبَةً), hati yang bersih (قَلْبًا سَلِيمًا), dan keikhlasan dalam beribadah serta dalam semua aspek kehidupan.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian kajian yang penuh manfaat ini.
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54960-larangan-mengatakan-buruknya-jiwaku/